Cerpen Mayoko Aiko

August 8, 2009 at 8:01 am | Posted in CERPEN Aniters | Leave a comment

mayokoEGIDIA  terus larut dengan keasyikannya. Bukit-bukit kecil yang dibuatnya dari pasir itu dihancurkan dengan kepalan tangan saat gerimis mengguyur kawasan Pantai Anyer. Berulang-ulang ia melakukannya. Ia tak peduli meskipun kaki hujan menampar-nampar wajahnya. Sesekali telapak tangan melap wajahnya yang basah. Lidah ombak Pantai Anyer menjilati kakinya yang telanjang.
Matahari sudah condong ke barat. Beberapa nelayan dan segerombol bocah pantai menarik-narik perahu lalu menambatkannya di bibir pantai.
“Kamu suka berlibur di pantai?” Seorang cowok tiba-tiba mengusik keasyikannya. Sekaligus memaksa Egidia mendongakkan kepalanya.
Seorang cowok dengan celana jean belel sebatas lutut dan sebuah T-shirt Anyer Beach, tersenyum ramah padanya. Seperti juga dirinya, cowok itu basah kuyup oleh gerimis yang turun di pantai itu.
“Pantai adalah tempat favoritku untuk berakhir pekan,” jawab Egidia sembari menatap wajah cowok itu.
“Kamu selalu ke pantai ini?” tanyanya.
Egidia tersenyum.
“Minimal sebulan sekali? Kamu?” Egidia mencoba beramah tamah. Menemukan seorang teman saat berakhir pekan tentunya sangat menyenangkan.
Cowok itu menyibakkan rambutnya.
Gerimis terus mengguyur. Anak-anak nelayan larut dengan alam. Berlari dan saling mengejar. Bagi mereka gerimis adalah teman bercumbu. Pengganti mimpi kanak-kanak yang indah tentang boneka Barbie yang cantik dan dongeng Sailormoon.
“Ayo Mas Re, kita naik ban lagi,” seorang yang hanya memakai celana kolor menarik-narik tangan cowok itu.
“Kamu aja, deh! Mas Re udah capek,” jawab cowok itu sembari mengoyak rambut si Bocah.
Si Bocah itu tersenyum. Menatap cowok itu lalu melirik Egidia dengan mata maklum.
“Kamu sering ke sini?” ulang Egidia.
“Nggak juga sih,” jawab cowok itu.
“Kok, bisa akrab sama mereka,” Egidia berpaling ke gerombolan anak-anak yang asyik bermain petak umpet dari satu perahu ke perahu lainnya.
“Tadi siang aku diajak melaut oleh ayahnya.”
“O ya? Aku suka melaut. Tapi tak seorang pun dari mereka yang mengajakku melaut.” Kalimat Egidia terdengar polos.
Cowok itu tersenyum. “Mungkin mereka takut terjadi apa-apa dengan kamu. Kamu kan seorang gadis. Tentu riskan kalau diajak berlayar sampai ke tengah lautan.”
Egidia tertawa. Untuk terakhir kalinya ia mengoyak bukit-bukit pasir yang tadi ditimbunnya. Kemudian membersihkan pasir yang menempel di telapak tangannya dengan air laut.
“Rupanya kamu suka pantai juga,” kata Egidia.
“Laut adalah bagian dari hidupku. Banyak hal indah yang disodorkan oleh pantai. Sunset yang indah. Nelayan yang ramah. Deburan ombak. Malah kalau beruntung, aku sering melihat pelangi di atas pantai.” Cowok itu menatap ke langit.
“Pelangi?” Egidia tertawa. “Mana ada pelangi di pantai? Pelangi kan adanya di pegunungan,” lanjutnya.
“Lihat saja nanti. Jika ada gerimis lalu matahari bersinar redup maka pelangi yang indah akan muncul di atas sana.” Cowok itu menatap ke langit lalu pandangannya kembali hinggap di wajah Egidia.
Egidia tertawa lagi.
“Kamu romantis banget.” Egidia terpingkal.
“Aku penulis,” aku cowok itu. Membungkukkan badan. Mengambil sebuah kerikil lalu melemparkan ke tengah pantai.
“O ya?”
Cowok itu tersenyum.
Egidia termenung sejenak. Mengudak benaknya mencari profil cowok yang tiba-tiba akrab dengannya.
“Pernah ceritamu diterbitkan?” Egidia mulai tertarik. Buku adalah sahabatnya. Karena segudang ilmu ditimbanya dari tumpukan kertas-kertas itu.
“Banyak,” jawab cowok itu.
“Yang terbaru?” desak Egidia penasaran.
“Senja, Laut dan Pelangi,” cowok itu menyebutkan judul buku karangannya.
Egidia berpikir keras. Ia mencoba mengingat semua novel remaja yang tak pernah dilewatkannya jika ada novel-novel remaja yang baru terbit. Terutama yang bercerita tentang alam. Dan usahanya ternyata tidak sia-sia. Sebuah nama kini nyantel nyata di benaknya.
“Oke. Aku mulai ingat. Kalau nggak salah novel itu bercerita tentang cowok yang merasa dibuang oleh keluarganya?” Egidia membuka kalimat dengan mengutip prolog novel yang terdiri dari tujuh episode itu.
“Bukan merasa. Tapi benar-benar dibuang.” Cowok itu tersenyum. Ada luka memancar dari sorot matanya yang tajam.
“Yang memilih tinggal di tepi-tepi pantai dengan tenda ketimbang tinggal di rumah mewah?” lanjut Egidia yakin.
“Kamu membacanya?” Cowok itu menatap Egidia.
“Aku hapal dari episode satu sampai episode terakhir.” Mata Egidia bersinar ceria. “Jadi kamu…?” Egidia ingin betul mengetahui siapa cowok yang kini menemaninya ngobrol di tengah-tengah gerimis yang menggila.
“Re Angga Kalalang!” jawab cowok itu sembari mengulurkan lengan tangannya.
Surprais!
Egidia hampir tak percaya. Bisa ketemu dengan penulis idolanya di saat tak terduga seperti ini. Surprais sekaligus menyenangkan karena bisa bertemu langsung dengan seseorang yang telah menyita waktunya karena novel-novel tokoh utamanya selalu bernasib tragis dan kurang beruntung. Mereka adalah remaja yang ‘terbuang’. Antagonis dan meledak-ledak.
“Namaku Egidia. Aku salah satu pembacamu,” sambut Egidia. “Kalau buku itu saya bawa, aku pasti meminta kamu untuk membubuhkan tanda tangan.” Egidia tertawa.
Re ikut tertawa melihat tingkah Egidia yang polos dan bersahabat.
“Ah, sudahlah. Aku toh belum sengetop JK. Rowling. Aku baru belajar menulis,” jawab Re malu-malu.
“Tapi ceritanya bagus, kok. Senja, Laut dan Pelangi itu pengalaman pribadi, ya?” Sudut mata Egidia merayapi wajah Re.
“Begitulah.”
“Terlalu sentimentil menurutku.”
“Kenyataannya memang begitu. Aku memiliki Papa dan Mama. Tetapi mereka seperti tokoh ilusi. Nyata! Tapi aku tak pernah bisa memilikinya. Kesibukan membuat mereka lupa kalau di rumah ada seorang Re. Tapi… ah, sudahlah. Lupakanlah!” Re menggeleng. Mengambil beberapa batu kerikil dan membaginya kepada Egidia. Gadis itu ikut melemparkan kerikil-kerikil itu ke tengah pantai. Keciprak suaranya terhapus begitu saja oleh lidah ombak yang menari-nari.
“Menyedihkan,” kalimat Egidia terdengar seperti sebuah desahan.
Sebuah camar menukik dari langit. Menggoda segelintir nelayan yang masih setia dengan jalanya.
“Eh, lihat di atas!” Tiba-tiba Re menunjuk ke langit. Matanya berbinar ceria.
Sudut mata Egidia mengikuti arah telunjuk Re. Mula-mula Egidia tak menemukan apa-apa. Lama kelamaan di sela-sela gerimis dari gumpalan awan melesat sebuah lengkungan indah yang berwarna-warni. Lengkungan itu berpijak di permukaan pantai.
“Pelangi?” Egidia menjerit girang.
“Yah, pelangi. Indah. Nyata tapi tak abadi. Seperti sebuah kehidupan.” Mata Re tak lepas dari lukisan indah yang mengkombinasikan tujuh warna yang sempurna.
Tujuh menit lamanya Egidia dan Re merayapi lukisan Tuhan itu. Ketika gerimis berhenti dan sinar mentari memberontak dari dekapan awan, lambat laun warna itu memudar. Sedetik kemudian pelangi itu hilang dari pandangan ketika kemuning senja merenggutnya dengan paksa.
“Buanglowmu di sebelah mana, Re?” Egidia menatap wajah Re.
“Itu!” Re menunjuk sebuah tenda yang berdiri persis di kaki sebuah pohon kelapa.
“Kamu tidur di tenda itu, Re?” Egidia tak percaya.
Re tersenyum lalu mengangguk.
“Nggak takut?” Mata bening Egidia bergerak indah.
Re menggeleng.
“Kalau tiba-tiba ada Tsunami?” Tatapan Egidia menyapu wajah Re.
“Aku bersyukur. Aku diberi perasaan yang tajam. Sepertinya aku tahu persis kapan akan ada gelombang pasang dan kapan laut akan surut. Aku menyatu dengan laut. Laut itu ibuku,” Re tersenyum. Manis sekali. Menatap wajah Egidia. Mengajak Egidia membuat labirin sembari menunggu sunset yang sebentar lagi akan menghiasi Selat Sunda itu.
Saat sang Surya bersembunyi tiba-tiba ada sesuatu yang hilang dari hati Egidia, ketika ia harus kembali ke bungalow dan meninggalkan Re di tenda itu. Sendirian.
Egidia tahu. Perkenalan ini sebuah awal dari sebuah titian panjang masa remajanya yang kelak penuh warna.

***

“Ke mana lagi, Re?” Egidia mendekati Re yang sibuk memasukkan perlengkapan avonturirnya.
“Lombok, Gi. Aku ingin mendirikan tenda di Senggigi,” jawab Re. Mencoba mangangkat Blue Ransel kemudian mengencangkan tali tas itu.
“Sekolahmu?” Egidia menatap wajah Re lekat.
“Setelah ini usai, Gi. Percayalah. Aku pasti kembali ke bangku sekolah lagi,” Re tersenyum. Memberi kepastian kepada Egidia.
“Aku sering mendengar kalimat itu, Re. Entah yang keberapa. Dimulai sejak kamu bertualang ke Kanekes, traverse ke Pedalaman Kalimantan sampai kamu harus dievakuasi karena terjebak kabut di Kerinci Seblat, kalimat itu selalu kamu ucapkan sebelum kamu berangkat. Please, Re. Kamu hanya ingin menghiburku, kan?” Mata bening Egidia menatap lurus. Hinggap di wajah Re yang sejak dua tahun lalu menjadi sisi indah dalam perjalanan hidupnya.
“Sudahlah, Gi.” Re menghindari tatapan Egidia. Meraih gelas berisi cream coffee. Ditenggaknya sampai tandas.
“Atau katakan saja, Re. Kamu tidak akan pernah berhenti bertualang.” Egidia mencari kepastian.
“Dua tahun kita saling mengenal, Gi. Aku yakin kamu tahu betul siapa aku. Sifat-sifatku dan kebiasaanku….” Kalimat Re menggantung.
Egidia menggigit bibir.
“Aku seorang penulis, Gi. Mengertilah itu.”
“Oke. Aku tahu, Re. Tapi itu tidak bisa kamu jadikan alasan untuk selalu bertualang dan meninggalkan sekolah.”
“Aku butuh inspirasi.”
“Haruskah dengan cara itu?”
“Yah,” Re berjalan ke arah jendela. Kabut mengungkung vila kecil itu.
“Dulu sebelum kita saling menyatukan perasaan, aku telah jujur kepada kamu, Gi. Tentang semuanya. Tentang keluargaku yang broken. Tentang hobiku yang nyeleneh. Dan kamu menerimanya. Aku bahagia. Dua tahun sudah kamu mengerti aku sepenuhnya. Meski kamu harus membayar dengan mahal. Berpuluh-puluh malam Minggu harus kamu lalui dengan suasana sepi dan perasaan galau karena kamu memikirkan aku entah berada di mana. Dan kini mungkin aku akan maklum kalau kamu mulai bosan dengan suasana seperti itu.” Telunjuk Re membentuk coretan abstrak di kaca jendela yang mengembun.
“Bukan itu maksudku, Re.”
“Aku akan maklum kalau kamu akan meninggalkan aku.”
“Re?!”
“Sudahlah, Gi.”
“Ketahuilah, Re. Aku selalu mencemaskan kamu.” Ada embun di sudut mata gadis itu.
“Semalam aku memikirkan semuanya, Gi. Seperti sebuah dilema yang pahit. Di sisi lain aku sangat mencintai kamu. Tulus! Tetapi di sisi lainnya lagi aku tidak ingin menyiksamu. Tidak ingin membiarkan masa remajamu berlalu tak pasti. Tidak ingin melihatmu termenung sendirian melepas akhir pekan tanpa kahadiranku.” Re menatap wajah gadisnya.
“Apa maksudmu, Re?” Sesuatu menggelepar di dada Egidia.
Re menghela napas. Memegang pundak Egidia. Ditegakkannya dagu gadisnya dengan lembut.
“Kita berpisah, Gi. Kita mengambil jalan sendiri-sendiri.” Sebuah helaan napas panjang menghempas dari rongga dada Re.
“Re? Sadar kan apa yang kamu ucapkan?” Dada Egidia serasa sesak. Sebuah beban menggelayut di sana.
Re menundukkan kepalanya.
“Setelah dua tahun kita membangun semuanya, kamu akan menghancurkannya dalam sedetik?” Egidia tak percaya kalimat yang didengarnya barusan keluar dari mulut Re. Seorang cowok yang dengan susah payah dirajutnya dalam hati, dari kikisan Sang Penggoda yang dari hari ke hari semakin banyak menguji ketulusan cinta seorang Egidia terhadap Re. Tetapi sekarang?!
Re masih menunduk.
“Aku betul-betul kecewa, Re.” Ada luka yang memaksa gadis itu menggigit bibirnya.
“Aku mengerti kamu kecewa. Tetapi nanti kamu akan tahu bahwa jalan ini adalah jalan yang terbaik buat kamu. Itu kulakukan karena aku sangat mencintai kamu, Egi,” bisik Re lembut setelah mengangkat kepala.
Sebuah sapuan halus hinggak di kening Egidia. Dan gadis itu terpuruk dalam pelukan dada bidang Re.

***

Debur ombak Senggigi merenggut semua episode di benak Egidia. Re adalah sosok nyata yang telah mengisi hari-harinya. Yang telah menghiasi hari-harinya. Yang telah membuat masa remajanya penuh warna. Tangis, tawa, rindu dan kecemasannya terhadap seorang Re, selalu melukis hari-harinya. Petualangan-petualangannya yang konyol dan kerinduannya yang tak beralasan terhadap alam, sering memenjarakannya dalam kecemasan yang sangat kental. Membuat nama cowok itu terpatri dalam di lubuk hatinya.
Senggigi adalah venus. Cantik dan menggoda. Pantainya yang landai, dipangku bukit-bukit kecil dan kelokan jalan mulus, dari hari ke hari membuat pesona Senggigi semakin memikat. Belum lagi kalau senja turun, sinar jingga dari ufuk barat dengan leluasa menjilati punggung nelayan dengan perahu tradisional yang ditambatkan di bibir pantai. Juga jerit bocah-bocah pantai yang bermain lepas, mengejar kepiting laut, memberi warna lain di pantai ini. Mungkin hal itulah yang membuat ‘orang-orang berkantong tebal’ membekap Senggigi yang cantik ke dalam pelukan kavling-kavling bungalow yang kini menjamur di bibir Senggigi. Menyedihkan memang. Tapi itu hal yang sudah tidak asing lagi.
“Kita pulang Egi. Sudah tiga hari kita tinggal di pantai ini,” Fe, sahabat karibnya mengusik kebisuan gadis itu.
“Biarkan Re tenang di dunianya,” Fe berusaha merengkuh pundak Egidia.
“Ia pergi dengan beribu beban, Fe!” Kalimat Egidia terdengar masygul.
“Aku merasa gagal mengerti dunia Re, Fe.” Sesuatu mengembang di kelopak mata Egidia. Gadis itu menatap lurus ke hamparan permukaan pantai Senggigi.
“Sudahlah. Buanglah rasa bersalahmu itu, Egi.”
“Aku melarangnya ketika Re ingin pergi ke pantai ini, Fe. Seharusna aku tidak boleh melarangnya ke mana pun ia pergi. Alam adalah sahabat Re yang sesungguhnya.” Ada isak tangis terdengar dari mulut gadis itu.
“Sudahlah, Egi. Lupakan. Semua sudah takdir. Kita hanyalah boneka, Egi. Lemah dan tak berdaya apa-apa bila sudah berhadapan dengan takdir.” Fe berusaha menghibur Egidia.
Ia mengerti perasaan Egidia sepenuhnya. Ditinggalkan oleh seseorang yang sangat dikasihi, pasti membuat perasaan sahabatnya itu terpukul. Apalagi Re pergi begitu mendadak. Tergulung gelombang pasang di pantai Senggigi ini, ketika Re sedang terlelap di dalam tendanya.
Kedua remaja itu tenggelam dalam kebisuan.
Mendadak gerimis mengguyur Senggigi. Kedua remaja itu tak juga beranjak dari bibir pantai. Ada satu hal yang ditunggu-tunggu selama tiga hari di Senggigi ini.
Dan harapan Egidia tak sia-sia. Ketika gerimis mulai mengguyur, dan sinar matahari masih tersisa, tiba-tiba sebuah lengkungan indah menggeliat dari balik awan. Menyodorkan warna indah sampai ke garis pantai.
“Lihat, Egi,” Fe berteriak sembari menunjuk semburat warna-warni yang dari detik ke detik semakin jelas. Membentuk selendang raksasa dengan tujuh warna sempurna.
Egidia menatap dengan mata nanar.
Senyum manis Re berkelebat di sela-sela pelangi. Kerinduan kepada Re menggumpal di dadanya. Matanya berkaca-kaca. Senyum manis itu terus menari-nari di pelupuk matanya.
Seperempat jam gadis itu larut dengan ilusinya. Ia merasa Re seperti hadir kembali. Menemaninya, melihat pelangi seperti dua tahun lalu di Pantai Anyer, saat untuk pertama kali saling dipertemukan.
“Kita ke Jakarta, Egi. Hampir seminggu lamanya kita meninggalkan bangku sekolah,” Fe tersenyum. Mengoyak nyanyian indah yang baru beberapa detik mengalun indah di dasar hatinya.
Pelangi yang indah itu kini telah tiada. Lenyap bersama hadirnya semburat kuning di sebelah barat.
“Yah, kita pulang, Fe!” Kalimat Egidia terdengar mantap. Ia banyak belajar dari Re tentang kehidupan. Pelangi adalah simbolnya. Tak satu pun ada yang abadi di muka bumi ini. Egidia mengerti sepenuhnya akan keputusan Re yang dulu sempat membuatnya putus asa. Alam, adalah cinta Re yang sesungguhnya. Bukan dirinya!

Leave a Comment »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.